Mesolitikum atau Zaman Batu Madya
atau Zaman Batu Tengah (Bahasa Yunani: mesos "tengah", lithos batu)
adalah suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia, antara Paleolitik
atau Zaman Batu Tua dan Neolitik atau Zaman Batu Muda. Istilah ini
diperkenalkan oleh John Lubbock dalam makalahnya "Zaman Prasejarah"
(bahasa Inggris: Pre-historic Times) yang diterbitkan pada tahun 1865.
Zaman mesolitikum adalah zaman di
mana manusia masih menggunakan batu sebagai alat dalam kegiatan sehari –
harinya. Zaman mesolitikum sendiri disebut dengan zaman batu tengah dan terjadi
pada masa holsen sekitar 10. 000 tahun yang lalu.
Pada zaman mesolitikum, manusia
hidup tidak jauh berbeda dengan zaman paleolitikum, yaitu dengan berburu dan
menangkap ikan. Namun, pada masa ini manusia lebih cerdas dibandingkan dengan
para pendahulunya. Manusia pada masa itu mulai mempunyai tempat tinggal agak
tetap dan bercocok tanam secara sederhana. Tempat tinggal yang mereka pilih
umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous
roche) sehingga tidak heran di tempat tersebut banyak ditemukan peninggalan –
peninggalan pra sejarah.
Kjokkenmoddinger diambil dari
bahasa Denmark, yaitu kjokken yang berarti dapur dan modding yang berarti
sampah. Jadi, Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur. Dalam pengertian yang
sebenarnya Kjokkenmoddinger adalah fosil yang berupa timbunan atau tumpukan
kulit kerang dan siput sehingga mencapai ketinggian ± 7 meter. Fosil ini
ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera, yakni antara daerah Langsa hingga
Medan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba pada zaman ini sudah
mulai menetap.
Sedangkan Abris sous roche adalah
goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal.
Ceruk-ceruk di dalam batu karang memberikan perlindungan terhadap hujan dan
panas. Di dalam dasar gua ini didapatkan banyak peninggalan kebudayaan, dari
jenis paleolitikum sampai permulaan neolitikum, tetapi sebagian besar dari
zaman mesolitikum.
Penyelidikan pertama terhadap
abris sous roche dilakukan oleh van Stein Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung
(Ponorogo, Madiun), dari tahun 1928-1931. Alat-alat yang ditemukan banyak
sekali macamnya : alat-alat bantu, seperti ujung panah dan flakes, batu-batu
penggilingan, kapak-kapak yang sudah diasah, alat-alat dari tulang dan tanduk
rusa, dll.
Dibandingkan dengan zaman batu
sebelumnya, pada zaman ini manusia mulai mengalami perkembangan budaya yang
lebih cepat. Perkembangan budaya yang cepat ini disebabkan oleh beberapa
faktor, di antaranya adalah keadaan alam yang lebih stabil. Akibatnya, manusia
pada zaman ini hidup dengan lebih tenang, sehingga mereka bisa mengembangkan
kebudayaannya. Salah satu perkembangannya adalah manusia pada zaman itu sudah
mempunyai kemampuan membuat kerajinan gerabah dari tanah liat.
Mereka juga sudah mulai bercocok
tanam meskipun dengan cara yang masih sederhana. Manusia purba pada masa ini
masih menggunakan alat – alat yang diambil dari tulang dan tanduk hewan untuk
digunakan dalam kehidupan sehari – hari seperti pada masa mengumpulkan makanan
tingkat awal atau paleolitikum.
Berdasarkan keterangan diatas,
dapat disimpulkan bahwa ciri zaman mesolitikum adalah :
1. Manusia di zaman ini sudah
tidak lagi nomaden atau menetap di gua, maupun di pantai.
2. Manusia zaman ini sudah
mengumpulkan makanan dan bercocok tanam.
3. Manusia zaman ini sudah bisa
membuat kerajinan dari gerabah.
Menurut penelitian para ahli
sejarah, manusia yang hidup pada zaman mesolitikum adalah Ras Melanosoide. Ras
Melanesia atau disebut juga dengan Papua Melanosoide merupakan rumpun bangsa
Melanosoide/Ras Negroid. Bangsa ini merupakan gelombang pertama yang
berimigrasi ke Indonesia dan berasal dari daratan Asia tepatnya di Yunan Utara
bergerak menuju ke Selatan memasuki daerah Hindia Belakang (Vietnam)/Indochina
dan terus ke Kepulauan Indonesia. Bangsa Melanisia/Papua Melanosoide yang
merupakan Ras Negroid memiliki ciri-ciri antara lain kulit kehitam-hitaman,
badan kekar, rambut keriting, mulut lebar dan hidung mancung. Bangsa ini sampai
sekarang masih terdapat sisa-sisa keturunannya seperti Suku Sakai/Siak di Riau,
dan suku-suku bangsa Papua Melanosoide yang mendiami Pulau Irian dan
pulau-pulau Melanesia.
Zaman mesolitikum meninggalkan
hasil kebudayaan. Hasil kebudayaannya antara lain :
1.
Pebble (kapak genggam)
Biasa disebut dengan kapak Sumatera karena kapak ini
paling banyak ditemukan lokasinya di pesisir timur Sumatera yaitu antara Langsa
dan Medan. Para arkeolog menyebutnya dengan pebble. Terbuat dari batu kali yang
dipecah atau dibelah. Sisi luarnya yang sudah halus dibiarkan, sedangkan sisi
dalamnya dikerjakan lebih lanjut, sesuai kebutuhan.
2.
Hache cource (kapak pendek)
Kapak ini hanya ada di zaman mesolitikum. Bentuknya
kira-kira setengah lingkaran, dan seperti halnya kapak genggam dibuat dengan
memecahkan batu, dan tidak diasah. Bagian yang tajam terdapat pada sisi
lengkung.
3.
Pipisan (batu-batu penggiling)
Di bukit-bukit kerang (kjjokenmoddinger)
ditemukan batu-batu penggiling beserta
landasannya. Pipisan ini ternyata tidak
hanya digunakan untuk menggiling makanan tetapi digunakan juga untuk
menghaluskan cat merah. Adapun kegunaan dari cat merah itu belum diteliti
secara pasti, tetapi ada kemungkinan pemakaiannya berhubungan dengan keagamaan/sihir, dimana merah merupakan darah
sebagai tanda dan sendi kehidupan. Cat merah diulaskan ke badan memiliki maksud agar bertambah kekuatan dan tenaga hidupnya
4.
Flakes
Flakes adalah serpihan-serpihan yang terbuat dari
batu-batu biasa tetapi ada juga yang dari batu berwarna/caldeson. Berbeda
dengan kapak genggam, flakes ini berukuran lebih kecil dan tajam.
Peralatan ini terutama ditemukan di sekitar daerah
Sangiran, Pacitan, Ngandong(Jawa), Lahat(Sumatera), Sumbawa, Sulawesi, dan
Flores. Flakes ini berfungsi untuk menguliti hewan buruan,mengiris daging atau
memotong umbi-umbian. Jadi fungsinya mirip dengan pisau sekarang.
5.
Sampung Bone Culture
Sampung Bone Culture merupakan istilah dari
benda-benda yang terbuat dari tulang hewan. Diberi nama Sampung Bone Culture
karena pertama kali ditemukan di Gua Lawa, Sampung, Ponorogo. Benda-benda dari
tulang ini juga ditemukan di gua Besuki, Bojonegoro(Jawa Timur), pulau Timor
dan Rote, dan di gua Leang Patae, Lomoncong,
Sulawesi Selatan yang pendukungnya adalah suku Toala yang sampai
sekarang masih ada.
Alat-alat dari tulang ini digunakan untuk berburu,
tidak sedikit yang digunakan sebagai mata anak panah.
6.
Lukisan dinding
Pada zaman mesolitikum ditemukan lukisan di sekitar
Teluk Triton dan Teluk Bisyari, Distrik/Kecamatan Kaimana atau di sekitar
Kampung Maimai, Sisir, dan Namatota. Lukisan-likisan ini masih menyimpan
misteri dan keunikan yang seakan menceritakan suatu jaman dengan suatu
kehidupan tertentu. Daya tarik Kaimana Rock Painting ini terletak pada letak
dan bahan pewarna yang digunakan. Letak lukisan-lukisan ini terdapat pada tebing-tebing
batu yang tinggi dan secara akal sehat manusia tidak mungkin dijangkau-apalagi
teknologi jaman itu. Bahan cat atau pewarna yang digunakan hingga kini masih
misteri, umumnya lukisan-lukisan ini berwarna merah darah dan hingga hari ini
tak pudar dimakan jaman.
Lukisan dinding di Kaimana memiliki keunikan tersendiri dan
berbeda dengan lukisan dinding yang terdapat di Kokas dan Raja Ampat, terutama
dari segi kekayaan motifnya. Jika di Kokas dan Raja Ampat umumnya bermotif
tapak tangan (finger-print), di Kaimana bukan saja finger print tapi ada
lukisan ikan, binatang, tengkorak, matahari.
Gallery
absis sous roche (commons.wikimedia.org) |
Pebble (jawara1.wordpress.com) |
sampung bone culture (tamanmacah.blogspot.com) |
pipisan (ucocompact.blogspot) |
lukisan dinding gua (ferdi2end.blogspot.com) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar