Minggu, 03 April 2016

Antara Fatahillah dan Sunan Gunung Jati







Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah tokoh pejuang pada zaman kerajaan islam sedang berkembang pesat di Indonesia. Beberapa ulasan yang mengatakan Fatahillah dan Sunan gunung Jati adalah orang yang sama. Apakah hal itu benar adanya? Mari kita analisis fakta yang ada. Dimulai dari biografi masing - masinhg tokoh.

Fatahillah

Fatahillah adalah tokoh yang dikenal mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan memberi nama "Jayakarta", yang kini menjadi kota Jakarta. Ia dikenal juga dengan nama Falatehan.

Ada beberapa pendapat tentang asal Fatahillah. Satu pendapat mengatakan ia berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang kemudian bersamaan dengan datangnya Bangsa Portugis di Malaka ia pun lalu ke tanah Jawa, atau Demak tepatnya. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Fatahillah adalah putra dari raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran. Pendapat lainnya lagi mengatakan Fatahillah dilahirkan pada tahun 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, dengan Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rasa.

Namun sebenarnya, Fatahillah yang bernama lahir Fadilah Khan murni tidak berasal dari Nusantara. Beliau pernah ikut berperang bersama pasukan Turki untuk menduduki Konstantinopel. Setelah pendudukan Konstantinopel dan merubahnya menjadi Istambul, beliau diundang untuk bergabung untuk membesarkan Kesultanan Demak. Ia diundang agar bisa membawa para ahli pembuat meriam untuk bergabung dengan Kesultanan Demak untuk menghadapi Portugis. Tidak satupun kerajaan di Nusantara di masa itu yang memiliki teknologi pembuatan meriam.

Ada sumber sejarah yang mengatakan sebenarnya ia lahir di Asia Tengah (kemungkinan di Samarqand), menimba ilmu ke Baghdad, dan mengabdikan dirinya ke Kesultanan Turki, sebelum bergabung dengan Kesultanan Demak.


Fatahillah adalah seorang Panglima Perang Pasai, yang bernama asli Fadhlulah Khan, orang Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, beliau hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak I).

Menurut Saleh Danasasmita sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam Bab Surawisesa, Fadhlullah Khan dinyatakan masih berkerabat dengan Walisongo, karena kakek buyut beliau Zainal Alam Barakat adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayahanda Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat. Ia dinyatakan sebagai putra dari Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim atau Zainal Alam Barakat.

Beliau disebutkan pula sempat berguru kepada seorang ulama besar Aceh pada waktu itu, Syekh Abdul Rauf Singkel bin Ali al-Fansury atau lebih dikenal dengan sebutan Teungku Syiah Kuala. Dan ketika beliau menginjak dewasa, oleh sang Guru Fatahillah diperintahkan untuk pergi ke Makkah untuk memperdalam ilmu agamanya selama tiga tahun.

Sekembalinya dari Makkah, beliau mengetahui bahwa Bangsa Portugis telah menguasai Malaka, untuk itu beliau kemudian sempat memimpin pasukan Pasai menggempur pertahanan Portugis di Malaka pada tahun 1511. Namun, kemudian beliau datang ke Demak untuk meminta bantuan, dan tentu saja diterima dengan tangan terbuka oleh Sultan Trenggana, penguasa Kesultanan Demak pada waktu itu.

Ada 2 kemungkinan datangnya Fadhlullah Khan dari Pasai. Kemungkinan Pertama beliau sudah menjadi anak buah Pati Unus dan bergabung dengan pelarian Malaka ketika Pati Unus memimpin armada Islam tanah Jawa menyerang Malaka pada tahun 1513 dan 1521, tetapi beliau termasuk yang selamat dalam perang besar tahun 1521 (seperti Raden Abdullah putra Pati Unus), setelah Armada Gabungan kembali ke tanah Jawa, beliau diangkat menjadi pengganti Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam Gabungan tanah Jawa dan dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati dengan putri beliau, Ratu Ayu janda Pati Unus untuk memperkuat kekerabatan.

Kemungkinan ke 2 adalah, beliau tidak ikut perang Malaka pada tahun 1513 dan 1521, tapi sudah hijrah lebih dulu ke tanah Jawa setelah jatuhnya Pasai pada tahun 1512. 9 tahun kemudian beliau diangkat oleh Sunan Gunung Jati menggantikan Pati Unus yang gugur setelah dinikahkan dengan Ratu Ayu, putri Sunan Gunung Jati yang ditinggal Pati Unus.

Dari analisa tersebut di atas kemudian mengkompromikan 2 kemungkinan yakni setelah jatuhnya Malaka (1511) kemudian Pasai (1512), bisa dikatakan seluruh tokoh besar dan para Panglima Muslim dari Pasai dan Malaka yang selamat kemudian hijrah ke tanah Jawa sebagai satu-satunya basis Kerajaan Islam yang masih eksis (di Asia Tenggara) dan sangat aneh bila kemudian tidak ikut bergabung dengan Armada Islam tanah Jawa pimpinan Pati Unus dalam ekspedisi 1521 yang sangat besar, selain karena dendam yang belum terlampiaskan terhadap Portugis, juga para Tokoh dan Panglima Pasai dan Malaka (yang dalam pengasingan di tanah Jawa) bila tak ikut kewajiban Jihad pasti akan dikucilkan.

Di Demak dan Cirebon, Fadhullah Khan mendapat gelar sebagai Wong Agung Pasai, sedangkan di Banten beliau mendapat gelar Tubagus Pasai.

Ketika Pati Unus gugur dalam perang laut dahsyat untuk merebut kembali Malaka dari tangan Portugis, Fadhullah Khan diangkat oleh Sunan Gunung Jati menggantikan Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam di tanah Jawa.

Kegagalan ekspedisi Malaka (1521) membuat kesultanan-kesultanan Islam di tanah Jawa mengambil sikap defensif dan memancing Portugis untuk datang. Sehingga Bulan Juni 1527, Portugis yang telah merasa di atas angin mencoba menerobos Sunda Kelapa, langsung diluluhlantakkan oleh armada Islam dibawah pimpinan Fatahillah, kemenangan besar ini kemudian dirayakan sebagai hari lahir Jayakarta dan kemudian disebut Jakarta. Fadhullah Khan atau Tubagus Pasai diberi gelar baru yaitu Fatahillah (yang berarti Kemenangan Allah SWT).

Fatahillah juga berperan sangat besar pada penaklukkan daerah Talaga sebuah negara kecil yang dikuasai oleh seorang raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama, dengan rajanya yang bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tetapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.

Setelah kemenangan demi kemenangan diraih, Fadhullah Khan diangkat Sunan Gunung Jati sebagai Penasehat Kesultanan Cirebon, sedangkan kota Jayakarta diserahkan ke menantu Fadhullah Khan, yaitu Tubagus Angke. Setelah wafatnya Tubagus Angke, tampuk pemerintahan diserahkan kepada putra beliau yaitu Pangeran Jayakarta yang kemudian pada tahun 1619, karena kalah dalam konflik dengan VOC, meninggalkan Jayakarta yang sebelumnya dibumi hanguskan terlebih dahulu.

Fadhullah Khan kemudian menjadi pemegang jabatan/penjabat raja karena ketiga putra Syarif Hidayatullah yaitu Pangeran Pasarean, Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana, meninggal sebelum sempat naik tahta. Sedangkan Pangeran Hasanudin telah naik tahta sebagai sultan Banten. Fadhullah Khan sendiri sebelumnya telah ditunjuk menjadi wakil sultan, saat Sunan Gunung Jati sibuk berdakwah. Dan ia juga ditunjuk sebagai pelindung Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean yang sebelumnya akan diangkat menjadi pengganti Sunan Gunung Jati. Namun Pangeran Dipati Carbon juga meninggal sebelum sempat naik tahta.

Fadhullah Khan, setelah kematian Sunan Gunung Jati, hanya memerintah selama 2 tahun atas nama Pangeran Dipati Carbon sebelum kemudian meninggal pada tahun 1570, oleh karena itu namanya tidak disebut sebagai raja Cirebon dalam silsilah resmi raja-raja Cirebon, justru Pangeran Dipati Carbon yang disebut. Apalagi Fadhullah Khan hanya menantu dan sekedar penjabat raja.

Dari pernikahannya dengan Ratu Ayu, lahirlah Ratu Nawati Rarasa yang kemudian menikah dengan putra Pangeran Pasarean, Dipati Pakungja atau Dipati Ingkang Seda Ing Kemuning, yang kemudian memiliki anak bernama Pangeran Agung Pakung Raja, yang setelah wafatnya Sunan Gunung Jati menjadi penerus kepemimpinan di Cirebon.

Fadhullah Khan sebelum menikahi Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati yang menjadi janda akibat meninggalnya Pati Unus. Sebelumnya ia menikah dengan Ratu Pembayun putri Sultan Trenggana, yang juga menjadi janda dari Pangeran Jayakelana.

Sunan Gunung Jati

Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar didaratan timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.

Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati. 

Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang ke negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta diizinkan tinggal di Pasambangan atau Gunung Jati.

Syarifah Muda’im dan puteranya Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Lahfi. Sehingga kemudian hari Syarif Hidayatullah terkenal sebagai Sunan Gunung Jati. Tibalah saat yang ditentukan, pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479 karena usia lanjut pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhan yaitu orang yang dijunjung tinggi.

Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tetapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh Adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan puteri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinannya inilah kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang putera yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering bermusyawarah dengan anggota para wali  lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.

Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati (Cirebon) dan ia memploklamirkan diri sebagai raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Cirebon. Daerah-daerah lain seperti: Surakanta, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Keslutanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunung Jati pernah diundang ke negeri Cina dan menikah dengan putri Kaisar Cina bernama putri Ong Tien. Kaisar Cina pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan pernikahan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah menikah dengan Sunan Gunung Jati, putri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah putri Ong Tien ini membekali puterinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.

Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1980 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau isteri Sunan Gunung Jati. Dari pembangunan mesjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan umat. Selesai membangun mesjid, diteruskan dengan membangun jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam diseluruh tanah pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pada tahun 1511 M
alaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin memperluas kekuasaannya ke pulau jawa. Pelabuhan sunda kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim adipati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka. Ada salah seorang pejuang Malaka yang ikut ke tanah jawa yaitu Fatahillah. Ia bermaksud meneruskan perjuangannya di tanah jawa dan dimasa Sultan Trenggana ia diangkat menjadi panglima perang.

Pengalamannya bertempur di Malaka membuatnya mengerti titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentuk arahnya.

Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Sebakingking. 

Sekitar tahun 1479, Sunan Gunung Jati pergi ke daratan Cina dan tinggal didaerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.

Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka disanalah Sunan Gunung Jati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Disamping itu , pada setiap gerakan fisik dari ibadah Sholat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur, terutama bila seseorang mau mendirikan Sholat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan sholat lima waktu, maka orang yang berobat kepada Sunan Gunung Jati banyak yang sembuh sehingga nama Gunung Jati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.

Di negeri naga itu Sunan Gunung Jati berkenalan dengan Jenderal Ceng Ho dan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada suatu ketika Sunan Gunung Jati berkunjung ke hadapan kaisar Hong Gie, pengganti kaisar Yung Lo dengan puteri kaisar yang bernama Ong Tien. Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunung Jati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan sholat tahajjud. Beliau hendak sholat di rumah tetapi tidak khusu’ lalu beliau sholat di masjid, di masjid juga belum khusu’. Beliau heran padahal bagi para wali, sholat tahajjud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunung Jati sholat diatas perahu dengan khusu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah sholat dan berdo’a.

Ketika beliau terbangun beliau merasa kaget. Daratan pulau jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina beliau membuka praktek pengobatan. Penduduk Cina yang ingin berobat disuruhnya melaksanakan sholat. 

Dua orang puteri kaisar disuruh maju. Seorang diantara mereka sudah bersuami dan sedang hamil muda atau baru dua bulan. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil. "Hai tabib asing, mana diantara putriku yang hamil? Tanya kaisar."

Sunan Gunung Jati diam sejenak. Ia berdoa kepada Tuhan.

"Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab!" Teriak kaisar Cina.

"Dia!". Jawab Sunan Gunung Jati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih Perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikiann pula seluruh balairung istana kaisar.

Namun kemudian tawa mereka terhenti, karena puteri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutya.

"Ayah! Saya benar-benar hamil."

Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal di perut Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.

Kaisar menjadi murka. Sunan Gunung Jati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunung Jati menurut, hari itu juga ia kembali pulau ke pulau jawa. Namun putri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunung Jati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunung Jati ke Pulau Jawa.

Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan putrinya menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa. Putri Ong Tien dibekali harta benda dan barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas dan permata. Putri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li bang seorang menteri negara. Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunung Jati tatkala beliau berdakwah di Cina.

Dalam pelayarannya ke Pulau jawa, mereka singgah di kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran.

"Ada apa ini?" Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya.

Tetua masyarakat balik bertanya. "Siapa yang bernama Pai Li Bang?"

"Saya sendiri," jawab Pai Li Bang.

Sontak Pai Li Bang digotong penduduk diatas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya.

Setelah duduk dikursi Adipati, Pai Li Bang bertanya, "sebenarnya apa yang terjadi?"

Tetua masyarakat itu menerangkan. Bahwa adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.

Dalam kebingungan itulah muncul Sunan Gunung Jati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.

Setelah berpesan begitu Sunan Gunung Jati meneruskan pelayarannya ke pulau jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum dengan gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke Pulau jawa. Pai Li Bang tidak menolak keinginan gurunya, dia bersedia menjadi adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti menjadi nama kadipaten Pai Li Bang, dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.

Sementara itu putri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau jawa. Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunung Jati, tapi Sunan Gunung Jati sedang berada di Luragung. Putri itupun menyusulnya. Pernikahan antara puteri Ong Tien denga Sunan Gunung Jati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 putri Ong Tien meninggal dunia. 

Dilihat dari biografi kedua tokoh sudah jelas bahwa kedua tokoh diatas adalah orang yang berbeda. Banyak sekali fakta yang mendukung bahwa kedua orang ini adalah orang yang berbeda dan hanya sedikit yang mendukung kesamaan kedua orang tersebut. Jadi jangan tertipu dengan google images yaa..


keyword sunan gunung jati




keyword fatahillah
  

Sources
http://pustaka-s.blogspot.com/2015/07/fatahillah-fadhullah-khan.html
http://kisah-kisahwalisongo.blogspot.co.id/2012/01/sunan-gunung-jati.html

2 komentar: